Razia cukur rambut di dunia pendidikan sebenarnya sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Hal ini terkait dengan peraturan sekolah dan penegakan kedisiplinan. Di lingkungan sekolah, model potongan rambut bisa jadi tolak ukur penilaian terhadap etika kesopanan, kedisiplinan, dan kerapian.
Potongan rambut pendek agaknya memang lebih diakui sebagai variasi potongan rambut tersopan dan paling direkomendasikan untuk laki-laki. Rambut pendek dipercaya bisa meminimalkan risiko masalah etika di sekolah hingga lingkungan sosial di luar sekolah. Sedangkan untuk perempuan, jika memiliki rambut panjang maka wajib untuk diikat dan tidak diperkenankan untuk digerai dengan alasan dapat menganggu fokus dalam belajar.
Namun, baru-baru ini razia cukur rambut menjadi topik yang cukup kontroversial di dunia pendidikan. Hal ini bersamaan dengan viralnya unggahan video di media sosial tentang seorang ibu yang protes anaknya dicukur setengah botak oleh gurunya. Lalu, adapula video oknum guru di sebuah SMA sedang memotong rambut panjang seorang siswi berhijab secara paksa karena tidak memakai ciput (dalaman jilbab) sehingga nampak rambutnya. Tapi dengan aksinya tersebut justru menambah makin nampak rambutnya dan dilihat oleh teman-teman satu kelasnya.
Berkaca dari kasus tersebut, sebenarnya yang menjadi masalah dan bersifat kontroversial bukan soal razia cukur rambutnya, melainkan cara guru dalam memotong rambut. Jika hasil cukurannya rapi, atau tidak sampai ugal-ugalan hingga pitak atau botak pastilah tidak akan viral secara negatif.
Seperti video yang pernah beredar pula di media sosial, ada seorang guru SD yang memotong rambut peserta didik dikarenakan menemukan banyak kutu rambut dan telur kutu di rambut panjang seorang murid perempuan. Ketika video itu diunggah dan viral, justru mendapatkan banyak komentar positif dari warganet.
Maka, dalam sudut pandang sebagai orangtua, sebenarnya tidak apa-apa jika guru melakukan razia dan cukur rambut siswa dalam rangka menegakkan disiplin aturan. Tetapi, yang menjadi catatan adalah etika dalam mendisiplinkan haruslah sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Mencukur rambut secara ugal-ugalan, tidak memperhatikan estetika, dimodel nyleneh, asal-asalan dengan kesan 'lucu' tentunya tentunya akan melunturkan bahkan menghilangkan rasa percaya diri peserta didik. Hal ini menurut saya tidak memanusiakan peserta didik. Jika dalam razia cukur rambut saja ada indikasi penjajahan dan pemaksaan berarti implementasi praktik baik kurikulum merdeka di sekolah tersebut masih perlu dipertanyakan. Di sini jelas tidak ada kemerdekaan berpikir, berdiskusi untuk menimbulkan kesadaran secara mandiri dari siswa untuk mengikuti aturan sekolah.
Bayangkan, kalau yang jadi korban pemotongan rambut secara paksa ini adalah siswa yang punya tipe rambut yang tumbuhnya lama, berapa lama dia harus menanggung rasa malu? berapa lama dia harus mengembalikan kepercayaan diri? Terlebih psikologis anak juga bisa terdampak karena tindakan itu dilakukan di lingkungan sekolah dan dilihat teman-temannya.
Lalu, bagaimana anak bisa tetap merdeka belajar dengan tetap taat aturan sekolah?
Kurikulum merdeka bukan sekedar perubahan dokumen dan administrasi belaka, tetapi lebih meningkatkan kualitas hubungan guru dengan peserta didiknya. Kurikulum merdeka menawarkan pendekatan-pendekatan pendidikan yang berpusat pada peserta didik. Sehingga guru dan sekolah perlu memiliki strategi yang lebih bijak dan hati-hati dalam upaya menerapkan aturan kedisiplinan di sekolah, termasuk aturan mengenai rambut siswa.
Kepercayaan Diri dan Potongan Rambut yang Dipaksakan: Relevankah dengan Kurikulum Merdeka? - Kompasiana.com - Kompasiana.com
Read More
No comments:
Post a Comment