Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan banding terdakwa Djoko Tjandra atas kasus suap status red notice. Sejumlah kontroversi mewarnai putusan itu.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan banding terdakwa Djoko Tjandra, alias Joko Tjandra, atas kasus suap status red notice. Pengadilan mengurangi hukuman Djoko dari semula 4 tahun 6 bulan penjara menjadi 3 tahun 6 bulan.
Pada 21 Juli 2021, situs resmi Mahkamah Agung menyebutkan, Pengadilan Tinggi menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan dan pidana denda sebesar Rp100 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan. Sebelumnya, majelis hakim Tindak Pidana Korupsi memvonis Djoko Tjandra 4 tahun 6 bulan penjara.
Pemotongan hukuman ini dinilai kontroversial. Apalagi, empat dari lima hakim yang menangani banding Djoko adalah mereka yang juga memotong hukuman Jaksa Pinangki atas kasus yang sama di tingkat banding pada pertengahan Juni lalu.
Simak fakta-fakta kasus Djoko Tjandra hingga kejanggalan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang dihimpun Tempo:
Alasan yang tak masuk akal
Hakim yang menangani gugatan banding Djoko Tjandra ini dinilai mencari-cari alasan untuk memotong hukuman. Pasalnya, hakim meringankan hukum Djoko Tjandra dengan alasan yang tak ada kaitannya dengan amar putusan sebelumnya, yakni dia telah menjalani pidana penjara pada kasus cessie Bank Bali. Alasan lain, Djoko Tjandra telah menyerahkan dana yang ada di dalam escrow account Bank Bali sebesar Rp 546 miliar.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, hakim mestinya menjadikan perbuatan Djoko melakukan korupsi hak tagih Bank Bali sebagai alasan pemberat. “Enggak ada yang meringankan. Itu memberatkan bahwa dia mengulangi kejahatan,” kata Feri.
Dua kasus yang menjerat Djoko Tjandra
Sebelum menjadi terdakwa penyuapan sejumlah aparat penegak hukum, Djoko menjadi terpidana korupsi hak tagih Bank Bali. Ia divonis bersalah dan dihukum selama 2 tahun oleh Mahkamah Agung pada 11 Juni 2009. Namun, sehari sebelum putusan dibacakan, Djoko kabur ke Papua Nugini.
Dalam pelariannya, Djoko menyuap dua perwira polisi, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo untuk menghapus red notice di Imigrasi. Ia memberikan Sin$ 200 ribu dan US$ 370 ribu kepada Napoleon serta US$ 100 ribu kepada Prasetijo Utomo. Ia juga menyuap Jaksa Pinangki Sirna Malasari sebesar US$ 500 ribu dolar untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung atas permasalahan hukum yang dihadapinya.
Sudah diprediksi
Putusan keringanan hukuman yang didapat Djoko Tjandra sudah diprediksi anggota Komisi III DPR Arsul Sani tak lama setelah putusan pengurangan hukuman yang diterima Jaksa Pinangki, Juni lalu. Menurut Arsul, secara logika hukum, pejabat yang menerima suap cenderung mendapatkan hukuman lebih berat daripada penyuap. “Apalagi kalau nanti majelis hakimnya sama,” kata Arsul, 15 Juni 2021.
Komisi Yudisial akan mengkaji putusan PT DKI
Komisi Yudisial akan mengkaji putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang mengabulkan banding terdakwa Djoko Tjandra ihwal kasus suap status red notice yang menjerat Jaksa Pinangki Sirna Malasari, Irjen Napoleon Bonaparte, dan Irjen Prasetyo Utomo.
“KY sesuai kewenangannya dalam melakukan anotasi terhadap putusan akan melakukan kajian atas putusan pengadilan,” kata Juru Bicara KY Miko Ginting dalam keterangan tertulis, Rabu, 28 Juli 2021. Langkah kajian putusan ini dilakukan KY dengan pertimbangan pentingnya sensitivitas keadilan bagi masyarakat. Tak hanya kasus ini, KY juga akan mengkaji beberapa putusan lain.
Hakim yang sama dengan kasus Pinangki
Empat dari lima hakim yang menangani banding Djoko adalah mereka yang juga memotong hukuman Jaksa Pinangki di tingkat banding pada pertengahan Juni lalu.
Berikut profil hakim tersebut:
Muhammad Yusuf (Hakim Ketua)
Muhammad Yusuf menjabat sebagai hakim tinggi dengan golongan pembina utama IV/e. Pria kelahiran Sumedang 18 Oktober 1955 ini sempat melaporkan harta selaku hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Laporannya yang terakhir pada 5 Januari 2021 sebagai hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta senilai sekitar Rp 2,4 miliar.
Haryono
Haryono merupakan hakim tinggi dengan golongan Pembina Utama IV/e. Dalam jejak karirnya, ia tercatat kerap menyunat vonis para koruptor. Misalnya, mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim yang semula dihukum penjara seumur hidup tetapi menjadi 20 tahun penjara.
Selain itu, berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Haryono memiliki harta kekayaan senilai sekitar Rp 2 miliar.
Singgih Budi Prakoso
Sama seperti Haryono, Singgih juga merupakan hakim tinggi dengan golongan Pembina Utama IV/e. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), ia memiliki harta lebih dari Rp 1,7 miliar.
Reny Halida Ilham Malik
Berbeda dengan Singgih dan Haryono, Reny merupakan hakim Ad Hoc Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Ia pernah menangani kasus dugaan korupsi jual beli jabatan di Kementerian Agama dengan terpidana eks Ketua Umum PPP, Romahurmuziy alias Romi. Kala itu, hukuman Romi dipotong menjadi satu tahun dari dua tahun penjara. Reny tercatat memiliki harta Rp 8,3 miliar dilihat dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) miliknya.
INGE KLARA | SUMBER DIOLAH TEMPO
Potongan Janggal Hukuman Djoko Tjandra, Komisi Yudisial akan Ikut Turun Tangan - Grafis Tempo.co
Read More
No comments:
Post a Comment